IETO 2025: Transisi Energi Indonesia di Persimpangan Jalan akibat Lemahnya Komitmen Politik
ZETIZENS.ID – Institute for Essential Services Reform (IESR) secara konsisten memantau perkembangan dan arah transisi energi di Indonesia yang dituangkan dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025 yang telah terbit sejak 2018.
IESR menyoroti meskipun pemerintah berjanji untuk melakukan pengurangan emisi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, kenyataannya transisi energi di Indonesia belum membuahkan hasil.
Bauran energi fossil terus naik, bahkan pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir, sedangkan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Selain itu intensitas energi juga masih di bawah target yang ditetapkan KEN.
UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dengan transisi energi sebagai salah satu tujuan utamanya, seakan dimentahkan oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN) baru yang justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan target di 2045.
Selain itu, sejak diluncurkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim sebagai RUPTL hijau, nyatanya tidak membawa perubahan berarti.
Sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang, konstruksi dan beroperasi. Hingga 2024, capaian target bauran energi terbarukan hanya berkisar di 13,1 persen, padahal target semula adalah 23 persen di 2025.
IESR menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon.
IESR mencatat bahwa keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil, sekaligus melemahkan peluang Indonesia menjadi pemain utama di pasar energi terbarukan global.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengungkapkan transisi energi di 2024 masih dalam tahap konsolidasi sebagai hasil pergantian kepemimpinan nasional dengan target dan prioritas baru dan kondisi ketidakpastian ekonomi global dan Indonesia.
Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) yang dikembangkan IESR sejak 2022, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan dipandang para pelaku bisnis sebagai salah satu penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.
Hal yang sama juga terpantau di TRF 2024 di mana meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung
Fabby menyebut tahun 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien.
Ia juga menyinggung strategi pemerintah yang cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkan teknologi energi surya, dan angin, serta battery atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif.
Sementara, banyak negara di dunia telah berkomitmen pada COP-28 tahun 2023 untuk berkontribusi pada upaya global untuk menggandakan efisiensi energi (double down) dan meningkatkan tiga kali lipat (triple up) pada 2030.
Komitmen tersebut akan memperbesar peluang investasi dan pendanaan untuk energi terbarukan dan efisiensi energi.
“Kabar baiknya, Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 Brazil menyatakan bahwa Indonesia akan mengakhiri PLTU batu bara pada 2040. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan amanat di dalam Perpres 112/2022 untuk mempensiunkan PLTU batu bara lebih awal dari umur keekonomiannya. Sebelumnya di KTT APEC presiden menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun dari sekarang. Misi ini bukanlah hal yang mustahil jika dilengkapi dengan upaya melakukan reformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu, sehingga dapat memastikan ketahanan energinya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8 persen, seperti yang dicita-citakan Pemerintahan Presiden Prabowo,” jelas Fabby dalam peluncuran IETO 2025 (5/12/2024).
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR yang juga menjadi penulis IETO 2025, mengungkapkan semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batu bara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM).
Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada 2023. Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) kapasitasnya berkembang menjadi 21 GW di 2023 sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama.
Ditambah lagi sebanyak 87 persen rumah tangga menggunakan LPG yang disubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp83 triliun pada kuartal keempat 2024.
Sementara, energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan.
“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke sektor energi terbarukan. Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS. Dari analisis kami, pensiun dini PLTU Cirebon-1, misalnya, akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar USD 31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai USD 62-324/tCO2e. Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula meningkatkan pengawasan PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan,” jelas Raditya.
Anindita Hapsari, Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR, menyatakan bahwa tanpa langkah strategis dan ambisius untuk menurunkan emisi di semua sektor, Indonesia berisiko menghadapi pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius, berdasarkan pemodelan IESR. Ia mendorong pemerintah untuk merancang pendekatan yang terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk mendukung transisi energi Indonesia. Anindita menekankan pada strategi jangka pendek untuk menangani isu yang mendesak, dan
Anindita Hapsari, Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR, menyatakan bahwa tanpa langkah strategis dan ambisius untuk menurunkan emisi di semua sektor, Indonesia berisiko menghadapi pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius, berdasarkan pemodelan IESR.
Ia mendorong pemerintah untuk merancang pendekatan yang terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk mendukung transisi energi Indonesia.
Anindita menekankan pada strategi jangka pendek untuk menangani isu yang mendesak, dan jangka panjang untuk membangun fondasi sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris.
Secara jangka pendek, pemerintah perlu, pertama, menegakkan kepatuhan dalam memastikan implementasi kebijakan yang ada, seperti pengetatan standar emisi bahan bakar, dan penerapan bangunan hijau.
Kedua, memberikan insentif untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi, seperti elektrifikasi kendaraan darat,dan implementasi mekanisme perdagangan karbon. Ketiga, mendukung sektor seperti pengolahan mineral agar lebih ramah lingkungan dan memprioritaskan dan akselerasi pengadaan energi terbarukan.
Sementara secara jangka panjang, pemerintah perlu pertama, membangun infrastruktur energi terbarukan seperti, mengembangkan kapasitas produksi hidrogen hijau dan amonia sebagai bahan bakar masa depan, dan memperkuat infrastruktur jaringan listrik untuk mendukung integrasi energi terbarukan.
Kedua, menyusun mekanisme pasar yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan energi. Ketiga, fleksibilitas sistem listrik dengan layanan tambahan dan inovasi seperti ESCO (Energy Service Companies).
Keempat, memperkuat peran daerah dalam implementasi kebijakan transisi energi, seperti pengelolaan sumber daya lokal dan perencanaan energi regional. (Zee)