Nusantara

Akademisi: Berdoa Tak Cukup, Indonesia Perlu Ini

ZETIZENS.ID – Pemerintah dan para partai politik (parpol) pendukungnya secara terang-terangan kembali mengakali dan mengobrak-abrik hukum, melangkahi konstitusi, demi menjegal oposisi dan memuluskan dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Delapan dari sembilan parpol di DPR, yang kini berada di kubu pemerintah, berupaya mengesahkan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) mengenai persentase ambang batas parlemen bagi parpol untuk bisa mengusung kandidat dalam Pilkada, dan mengenai syarat minimal usia pencalonan kandidat Pilkada.

DPR menginginkan ambang batas parpol tetap di 20% dari perolehan suara partai politik/gabungan partai politik di DPRD, padahal sehari sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubahnya menjadi 7,5%.

Putusan MK membuka jalan bagi PDIP untuk mengusung kandidat untuk melawan Ridwan Kamil yang sudah didukung oleh 12 parpol.

Namun, tampaknya mayoritas parpol koalisi pemerintah di DPR hendak menjegalnya, dengan mengakali verbatim dalam ketentuan pasal terkait. Ini merupakan langkah yang disebut oleh para pakar hukum tata negara sebagai pembangkangan konstitusi, inkonstitusional dan brutal.

Pembangkangan sipil adalah bentuk perlawanan pasif berupa penolakan untuk patuh terhadap tuntutan pemerintah atau penguasa. Ini biasanya dilakukan oleh publik terhadap pemerintah tanpa menggunakan kekerasan. Tujuannya untuk memaksa pemerintah mengubah sikap terhadap suatu kebijakan.

Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, mengatakan salah satu aksi yang dapat masyarakat lakukan adalah pemboikotan Pilkada 2024. Caranya adalah melalui tidak memilih satu calon kepala daerah.

Titi menganggap gerakan boikot beralasan. Sebab, proses Pilkada kali ini diwarnai manipulasi sehingga mencederai prinsip lurus, bersih, jujur, dan adil yang sepatutnya tercermin dalam proses pemilihan.

“Buat apa kalau kita terdaftar di daftar pemilih, tapi orang yang disediakan dalam surat suara itu adalah orang yang dihasilkan dari proses yang manipulatif. Jadi bukan seperti itu. Kita memaknai keadilan pemilu dan soal pemenuhan hak pilih jadi dalam konteks itu boikot Pilkada,” ujar Titi.

Boikot Pilkada, menurut Titi, adalah tindakan yang sah. Praktik ini juga sudah diterapkan di negara lain. Di India, misalnya, praktik boikot justru difasilitasi negara melalui penyediaan ruang “None of the above” (tidak di antara semuanya) dalam pemilihan umum.

“Untuk apa kemudian kita berpartisipasi untuk sesuatu yang jelas-jelas inkonstitusional….sama saja kita membenarkan pembangkangan,” kata dia. (Dinda)

Tulisan Terkait

Back to top button