Kontrak Sosial: Antara Kebebasan dan Kewajiban Bersama

ZETIZENS.ID – Sejak abad ke-17, perdebatan tentang dasar kekuasaan politik selalu kembali pada satu istilah kunci: kontrak sosial. Dari Thomas Hobbes, John Locke, hingga Jean-Jacques Rousseau, konsep ini hadir sebagai upaya filosofis untuk menjelaskan mengapa manusia bersedia tunduk pada sebuah otoritas, dan apa yang menjadi batas dari otoritas tersebut.
Bagi Hobbes, tanpa kontrak sosial, manusia akan hidup dalam keadaan bellum omnium contra omnes—perang semua melawan semua. Ia percaya bahwa demi keluar dari kekacauan itu, manusia rela menyerahkan kebebasan alaminya kepada Leviathan, sang penguasa absolut.
Berbeda dengan Hobbes, Locke melihat kontrak sosial bukan sebagai pengorbanan total, melainkan perjanjian untuk menjaga hak-hak dasar: kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan.
Sementara itu, Rousseau menekankan pada volonté générale—kehendak umum—sebagai ekspresi kedaulatan rakyat yang sejati.
Namun, bagaimana konsep klasik ini beresonansi dengan politik kontemporer kita?
Di era modern, kontrak sosial tidak hanya berarti perjanjian imajiner antara rakyat dan penguasa. Ia menjadi fondasi moral bagi praktik politik: pemerintah berfungsi bukan untuk melanggengkan kekuasaan, melainkan sebagai pelayan kepentingan publik. Ketika penguasa menyalahgunakan wewenang, kontrak sosial sejatinya telah dilanggar, dan legitimasi kekuasaan runtuh.
Kita bisa melihat gejala ini di banyak negara. Ketidakpuasan publik, demonstrasi jalanan, hingga lahirnya gerakan populisme, seringkali merupakan ekspresi dari perasaan bahwa kontrak sosial telah retak.
Rakyat merasa janji kesejahteraan, perlindungan, dan keadilan tidak ditepati. Dalam konteks inilah, kontrak sosial harus dipahami bukan hanya sebagai teori filsafat politik, melainkan sebagai komitmen yang hidup dalam praksis demokrasi sehari-hari.
Kontrak sosial yang sehat hanya mungkin terjaga bila ada dua hal: pertama, kesadaran warga akan hak sekaligus kewajibannya; kedua, keberanian penguasa untuk tetap transparan dan akuntabel.
Demokrasi bukan hanya tentang suara mayoritas, tetapi juga tentang menjaga ruang publik yang memungkinkan dialog, kritik, dan koreksi.
Dengan demikian, kontrak sosial bukan sekadar warisan filosofis, melainkan tantangan kontemporer. Pertanyaannya, apakah kita—baik sebagai rakyat maupun penguasa—sungguh-sungguh menjaga perjanjian itu? Ataukah kita secara perlahan membiarkan kontrak sosial itu mengendur, retak, dan akhirnya hanya tinggal mitos? (*)
DItulis oleh Nabil Ramadhan, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unpam PSDKU Serang