Republikalisme Cicero: Warisan Filosofis untuk Demokrasi Modern

ZETIZENS.ID – Salah satu tokoh klasik yang memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran republikalisme adalah Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf, orator, dan negarawan Romawi.
Pemikiran Cicero tentang republik dan pemerintahan yang baik tidak hanya relevan pada zamannya, tetapi juga memberikan inspirasi bagi perkembangan demokrasi modern.
Paper ini akan mengulas konsep republikalisme Cicero, menilai relevansinya dalam konteks politik kontemporer, serta mengkritisi beberapa aspek pemikirannya.
Cicero hidup pada masa genting, ketika Republik Romawi mulai bergeser menuju bentuk kekaisaran.
Situasi politik yang penuh ketidakpastian ini sangat membentuk cara pandangnya. Dalam karya-karyanya seperti De Re Publica dan De Legibus, ia menekankan bahwa republik merupakan sistem pemerintahan paling ideal.
Menurutnya, keunggulan republik terletak pada kemampuannya memadukan tiga unsur penting: monarki, yang menghadirkan kepemimpinan tunggal; aristokrasi, yang memberi ruang bagi kaum terbaik untuk memimpin; serta demokrasi, yang melibatkan partisipasi rakyat.
Cicero menyebut tatanan ini sebagai res publica, yakni “urusan bersama” atau kepentingan publik yang harus dijaga untuk kebaikan semua warga.
Menurut Cicero, tujuan utama republik adalah mencapai bonum commune atau kebaikan bersama.
Pemerintahan harus didasarkan pada hukum yang adil (ius) dan moralitas (virtus). Ia menekankan pentingnya mos maiorum (adat leluhur) sebagai landasan etika dan hukum yang menjaga stabilitas sosial.
Dalam pandangan Cicero, kebebasan (libertas) bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang diatur oleh hukum dan moralitas untuk mencegah tirani dan anarki.
Cicero juga menekankan peran aktif warga negara dalam menjaga republik. Partisipasi politik bukan hanya hak, tetapi kewajiban moral untuk melindungi dan memajukan kepentingan bersama. Ia mengkritik korupsi dan ambisi pribadi yang dapat merusak tatanan republik, serta menekankan pentingnya pendidikan dan kebajikan (virtus) bagi para pemimpin dan warga negara.
Pemikiran republik Cicero tetap relevan bagi demokrasi modern. Pertama, konsep res publica menegaskan bahwa pemerintahan harus berorientasi pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan golongan atau individu tertentu.
Prinsip ini menjadi fondasi bagi demokrasi kontemporer yang menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan.
Kedua, penekanan Cicero pada hukum dan moralitas mengingatkan bahwa demokrasi tidak semata-mata prosedural, tetapi harus dibangun di atas nilai etika.
Berbagai problem demokrasi kontemporer—seperti korupsi, polarisasi politik, dan penyalahgunaan kekuasaan—membuktikan urgensi nilai-nilai tersebut.
Ketiga, Cicero menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam menjaga kehidupan bernegara. Hal ini semakin relevan pada masa kini ketika tingkat keterlibatan politik masyarakat cenderung menurun.
Dengan demikian, pendidikan politik dan kesadaran sipil menjadi instrumen vital untuk memastikan keberlangsungan demokrasi yang sehat.
Meski pemikiran Cicero memberi kontribusi besar bagi wacana politik, bukan berarti tanpa kelemahan. Penekanan pada virtus dan mos maiorum cenderung konservatif serta berpotensi mengekang kebebasan individu dalam masyarakat yang plural, sehingga memerlukan interpretasi yang lebih inklusif.
Selain itu, meski mengakomodasi unsur demokrasi, Cicero tetap menempatkan elit sebagai pusat kepemimpinan, yang dapat melahirkan ketimpangan partisipasi dan mengabaikan suara kelompok minoritas.
Lebih jauh, konteks Romawi kuno yang hierarkis jelas berbeda dengan prinsip kesetaraan dalam demokrasi modern, sehingga gagasan Cicero tidak bisa diadopsi secara utuh tanpa penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat masa kini.
Pemikiran republikalisme Cicero menunjukkan bahwa fondasi pemerintahan yang baik tidak hanya terletak pada struktur politik, tetapi juga pada nilai-nilai moral, hukum, dan partisipasi warga negara.
Walaupun lahir dari konteks Romawi kuno, gagasan tersebut tetap dapat menjadi inspirasi berharga bagi demokrasi modern, asalkan diadaptasi dengan semangat pluralisme dan kesetaraan.
Dengan demikian, warisan Cicero bisa terus hidup sebagai pedoman dalam membangun demokrasi yang lebih adil, inklusif, dan bertanggung jawab. (*)
Ditulis oleh Avantya Izmaya Ruchy, mahasiswa Universitas Pamulang Semester 3







