Ketidakpastian yang Mengendap dan Mengapa Masyarakat Mulai Cemas terhadap Arah Pemerintahan

ZETIZENS.ID – Di sebuah negara yang terus berubah, masyarakat menjadi penunjuk yang paling jujur tentang sehat tidaknya demokrasi. Mereka tidak selalu memberikan suara dengan keras, tetapi rasa gelisah yang datang perlahan seringkali lebih berat daripada protes yang bising.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, di berbagai percakapan, muncul pola perasaan yang semakin terlihat jelas seperti masyarakat mulai merasa khawatir, bukan hanya sedih.
Rasa kekhawatiran ini menyebar ke berbagai kalangan, mulai dari pedagang kecil di pinggir jalan hingga pekerja kantor di kota besar, dan muncul dalam bentuk pertanyaan yang sama: “Mengapa arah pemerintahan terasa semakin jauh dari kehidupan kita?”.
Ketika Pemerintahan Terasa Jauh dari Ruang Hidup Warga
Salah satu hal yang membuat orang-orang merasa gelisah adalah ketika kebijakan pemerintah semakin jarang memperhatikan keadaan nyata atau faktanya masyarakat. Di desa, warga merasa sulit memahami, bingung mengapa keputusan besar diambil tanpa mendengar pendapat mereka. Di kota, pekerja muda merasa diabaikan dalam arah kebijakan ekonomi.
Sementara itu, pengusaha kecil bertanya-tanya apakah keinginan-keinginan mereka masih dianggap penting. Banyak orang merasa seperti penonton, bukan bagian dari proses yang menentukan masa depan mereka. Padahal, demokrasi tidak dibuat untuk memisahkan rakyat dari para pengambil keputusan. Justru sebaliknya, demokrasi diciptakan untuk menghubungkan mereka.
Rasa Tidak Pasti yang Semakin Menebal
Kekhawatiran rakyat bukan muncul dikarenakan satu kejadian saja. Ini adalah hasil dari banyak hal tak jelas yang terus bertambah dari arah pembangunan yang terus berubah, kebijakan yang tak konsisten, atau komunikasi pemerintah yang terasa tertutup. Ketika hal ini terjadi, masyarakat mulai bingung dan takut.
Di tengah kegelapan itu, rasa takut tumbuh lebih cepat daripada harapan. Di tengah aliran informasi yang deras, warga justru merasa ironis karena semakin banyak berita, semakin sulit menemukan kepastian.
Banyak orang mengakui bahwa mereka kini tak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya. Di tengah suasana informasi yang bingung ini, masyarakat hanya butuh satu hal sederhana dari pemerintah dengan kejelasan.
Kekhawatiran tentang Ruang Bersuara
Jika demokrasi dibandingkan sebagai sebuah rumah besar, maka kebebasan berbicara adalah bagian depannya, tempat di mana siapa saja bisa berbicara, memberikan kritik, dan berdiskusi. Namun, mulai terasa bahwa tempat itu semakin sempit.
Perasaan takut untuk berbicara, meski hanya sedikit, mulai muncul dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang mulai khawatir bahwa kritik mereka bisa dianggap sebagai ancaman, bukan masukan.
Ada yang merasa suaranya tidak lagi didengar. Ketika ruang untuk mendengarkan semakin sempit dan mengecil, suara-suara yang tertinggal akan mencari tempat lain, terkadang dalam bentuk kemarahan, terkadang dalam bentuk sinis.
Ketimpangan Persepsi antara Pemerintah dan Publik
Kesenjangan dalam komunikasi bukan hanya karena tentang kurangnya informasi, tetapi juga karena perbedaan cara memandang suatu masalah.
Pemerintah mungkin melihat kebijakan sebagai langkah strategis, tetapi masyarakat bertanya, “apa dampaknya besok pagi?” Pemerintah berbicara dalam angka, sementara masyarakat lebih fokus pada kebutuhan sehari-hari.
Perbedaan ini membuat terasa seperti pemerintah dan masyarakat hidup dalam dua dunia yang berbeda. Satu berbicara dengan bahasa resmi, sementara yang lainnya berbicara dengan bahasa kebutuhan dasar. Ketika kedua bahasa ini tidak lagi saling dipahami, maka hubungan antara pemerintah dan masyarakat akan semakin melemah.
Trauma Kolektif terhadap Ketidakpastian Masa Lalu
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang membawa beban mental dari masa lalu politik negara, seperti konflik, ketidakstabilan ekonomi, atau perubahan kebijakan pemerintahan yang drastis.
Pengalaman-pengalaman seperti itu membuat mereka lebih peka terhadap tanda-tanda ketidakpastian. Ketika mereka melihat gejala kecil, seperti ketegangan sosial, ketidakjelasan arah kebijakan negara, atau dinamika politik yang tidak mereka mengerti, rasa waspada yang lama mereka bawa kembali muncul.
Rasa waspada ini mungkin tidak selalu logis, tetapi selalu ada dasarnya. Kecemasan yang dirasakan bersama ini adalah fenomena sosial yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari cara orang membicarakan politik hingga cara mereka merencanakan masa depan.
Di Balik Kekhawatiran, Ada Harapan yang Tak Pernah Padam
Yang sering terlewat adalah bahwa kekhawatiran masyarakat bukanlah tanda bahwa mereka bermusuhan dengan pemerintah.
Justru, itu menunjukkan bahwa masyarakat peduli terhadap kondisi negara. Tidak mungkin seseorang merasa cemas terhadap sesuatu yang tidak penting. Mereka khawatir karena mereka ingin negara berjalan dengan baik. Mereka gelisah karena mereka memiliki harapan.
Mereka menyampaikan pendapat karena mereka ingin masa depan yang lebih baik. Pemerintahan yang bijak tidak memandang kekhawatiran sebagai kritik yang merusak, melainkan sebagai tanda yang harus didengarkan. Karena di balik rasa takut, masyarakat memiliki keinginan besar untuk terlibat, diajak bicara, dan dihargai.
Momen Persimpangan pada Waktu untuk Mendengarkan
Saat ini, negara berada di persimpangan antara terus menjalani cara lama atau membuka babak baru dengan warga. Masyarakat tidak meminta sesuatu yang sempurna. Tetapi mereka hanya menginginkan pemerintah yang hadir secara manusiawi, yang mau menjelaskan, bukan hanya mengumumkan siapa yang mau mendengarkan, bukan hanya mengumpulkan data siapa yang mau berjalan bersama, bukan hanya berjalan di depan tanpa menoleh ke belakang.
Jika pemerintah membuka pintu dialog, kekhawatiran ini perlahan akan berubah menjadi kepercayaan. Jika masyarakat terus menyampaikan aspirasi dengan cara yang sehat, mereka bisa menjadi kekuatan positif yang mendorong negara menuju kearah yang lebih baik.
Membangun Kembali Jembatan yang Retak
Kekhawatiran warga terhadap pemerintah bukanlah berarti akhir dari demokrasi, melainkan panggilan untuk memperbaikinya. Selama masih ada ruang untuk berbicara dan mendengarkan, selalu ada kesempatan untuk menyesuaikan kembali arah negara.
Masyarakat hanya ingin merasa bagian dari perjalanan bangsa, bukan sekadar penonton dalam keputusan-keputusan besar yang mengubah hidup mereka.
Jika negara dan rakyat mau berjalan bersama, bukan saling menjauh, maka kekhawatiran hari ini bisa menjadi dasar untuk masa depan yang lebih matang, lebih beradab, dan lebih penuh harapan. (*)
Ditulis oleh Sabil Febrayna Suhendri, mahasiswa Fakultas Hukum, Univertitas Sultan Ageng Tirtayasa.







